Posts

  Aku ingin berkencan dengan diriku sehari saja. Menanyakan kabarnya, mengajaknya makan, kemudian membawanya mengelilingi taman. Aku tau dia akan menolak tapi sungguh kali ini aku yang bayar, dia hanya perlu bersedia dan menjadi berani sedikit saja. Dia boleh memilih kegiatan yang dia ingin, bahkan ia boleh menangis sesenggukan kali ini. Aku berjanji tidak akan mengungkit cita-citanya lagi, pun segala ketakutannya lagi. Biar dia temukan jalan yang ia ingin, biar ia mencari hingga terperosok kedalam jurang, mungkin itu lebih baik daripada memaksanya menjadi diri yang lain. Akan aku bawakan dia seikat bunga segar kesukaannya, persis ia beberapa tahun lalu. Bukan berarti ia tak segar hari ini, hanya saja hidup dalam gelisah membuatnya cepat lelah. Andai dia tahu, dia sangat cantik setiap kali dia yakin dengan pilihannya, dia nampak menawan dengan mimpi-mimpinya. Andai saja, dia mau lebih berani. Ini pasti berat kan? matanya saja sudah mampu menjawabku. Aku mendekapnya erat sekali, jujur
  “ Sudah, kepalamu terlalu berisik untuk hal-hal yang belum tentu ada dalam ceritamu, nikmati saja, jalani yang perlu untuk dilakukan, prioritaskan sesuatu yang menjadi kendalimu” Ungkap nurani yang berkali-kali sabar menghadapi ego yang kerap ingin menang sendiri. Aku memandangi sekitarku malas, pagiku selalu kusambut monoton, pergi ke kamar mandi, buang air kecil, cuci muka, kemudian pergi ke dapur untuk menge- chek cucian piring, kalau kamu bertanya kenapa aku melewatkan aktivitas sikat gigi, mudah, sikat gigi hanya menjadi ritual wajib ketika aku mandi, dan aku belum ingin mandi, iya aku tau itu jorok, tapi sudahlah, aku tak peduli Komputer pangku (laptop) menunggu untuk disentuh, melambai menyapa seakan-akan mengatakan “hei kamu kapan menuntaskan tugas akhirmu? ayolah jangan membuatku menganggur” lalu aku menjawab “iya ini aku mau menyelesaikannya” padahal nyatanya setelah aku buka dan berhadapan dengan layar laptop merk hp itu, aku sama sekali tidak membahas tugas akhirku,
Termangu sejenak, benak sudah sesak oleh riuh ideologi-ideologi tanpa haluan, ingin sekali saja kulepas benalu yang sudah menjalar disekitar nalarku, tapi sayang ketika aku berusaha untuk mengerat, mereka selalu punya cara lain untuk tetap bersemayam, bahkan membangun ribuan kemungkinan yang selalu aku yakini itu akan terjadi, padahal aku tidak cukup kuat untuk menempa pikulan beban yang masih saja aku elak, karna terlalu angkuh untuk aku atasi sendiri, terlalu percaya diri untuk aku kuasai, menjadi hamba naif dan ragu untuk bersimpuh pada tuhan yang maha kuasa, menengadah saja rasanya masih main-main, nuraniku saja masih plinplan, keyakinan itu hanya terlontar dalam lisan kepalsuan, lebih-lebih pusat akal yang menjadi satu satunya harapan dan tumpuanku, ternyata sama saja mengkhianatiku untuk sekedar meminta agar diberikan keyakinan yang sempurna atas jalan hidupku. Lantas? kalau bagian penting dari organ tubuh yang sepenuhnya membantu melakukan pengendalian atas diriku saja tidak d

Ponsel Pintar itu?

Dulu aku suka sekali mencurahkan segala hal dalam buku diary yang biasa aku selipkan antara barisan buku pelajaran semasa aku sekolah, aku senang menceritakan segala sudut keadaan yang terjadi di sepanjang hari-hariku, tetapi semenjak kehadiran ponsel pintar itu, aku berubah menjadi sosok seperti orang kebanyakan, menyibukkan jari-jariku untuk melihat hal-hal yang banyak menyita waktuku, akupun lengah, terbuai dengan fitur-fitur yang memanjakan mata, mataku terditraksi, mataku seperti sepat kalau sehari saja tidak menyebat hiburan yang   seliweran di beranda akun sosial media, bak nikotin yang selalu menjadi magnet untuk para pencandunya, sebenarnya aku sudah merasa kenyang dengan asupan dopamin (hormon kesenangan), tetapi tetap saja aku berusaha mendorong, memaksanya hadir di sela-sela bagian otak yang sudah muak dengan kontaminasi yang aku suguhkan tiap detik, menit, jam dan tanpa ku sadari sudah 156 minggu, 1095 hari aku terlibat, entah apakah minggu-minggu atau hari-hari selanjutny

Hidangan Pembuka

Mungkin ini hanya sebagai hidangan pembuka, sebelum kamu masuk kedalam beberapa menu utama berupa celoteh kisah hidupku yang penuh dengan keabstrakan, dan maaf ya aku tidak bisa menyuguhkan hidangan penutupnya, dan kamu pasti bertanya-tanya kenapa aku tidak bisa memberikannya? karna aku hanyalah seorang manusia yang nanti akan menemukan akhir, yang nanti akan selesai, sebagai sebuah perandaian seperti pertunjukan yang akan membawa pada penghujung kalimat   “TAMAT” dan aku tidak tau kapan, dimana, itu terjadi, hanya tuhan yang mampu mengaturnya, kapan aku berakhir, dan dimana aku beristirahat untuk selamanya. Tapi tenang, kamu tidak usah khawatir, bukan berarti ketika aku tidak memberikanmu suguhan penutup untuk ceritaku, aku masih bisa menyuguhkan hidangan terlezat yang ada pada menu utama, yang akan kamu ingat sepanjang masa, bahkan kamu bisa menikmatinya kembali, meskipun rasanya akan berbeda, tetapi itu dapat memberi celah memori ketika bersamaku, memberi ruang rindu pada sanub
Aku masih berkutat dengan laptop dan beberapa lembar proposal yang cukup lama aku telantarkan, berharap semua ini akan selesai, aku memberanikan diri untuk menghubungi dosen pembimbing kembali, yang sudah 3 minggu yang lalu tidak aku pedulikan, ingin sekali ku maki diriku yang tak tau diri ini, sudahlah.  Aku meminta dospemku untuk melihat proposal yang telah rampung, aku sedikit ragu dan tidak percaya diri, cause to be honest, actually, I’m so tired and I’m not enjoy about this, dengan kuselipkan pesan seperti ini “bapak silahkan di chek terlebih dahulu untuk beberapa kesalahan bisa di coret-coret” ungkapku, oiya aku menghubunginya via WhatsApp, for your information my lecturer is very comfortable to his students, so aku lumayan ringan untuk perihal jadwal bimbingan, and so lucky punya dospem yang ga ribet, simple, and flexible. Lihat saja setelah selipan pesan itu, beliau membalas “kapan ujian seminar proposalnya? untuk masalah revisi, bapak koreksi waktu ujian ya!” ungkapnya, sebena